Inflasi ekstrem di Jerman (Wikipedia)
Hari ini, 91 tahun yang lalu, rusuh melanda Republik Weimar alias Jerman gara-gara inflasi ekstrem atau hiperinflasi. Nilai mata uang mark anjlok ke titik tragis, 4.210.500.000.000 per satu dolar Amerika Serikat.
Para perampok, penjambret, dan pencuri berhenti beroperasi. Sebab, uang tak lagi berharga untuk dicuri dan dirampas.
Sepotong roti nilainya mencapai 200 miliar mark, jauh lebih mahal dari harga bulan Januari yang 250 mark. Di hari gajian, para pekerja membawa pulang tumpukan uang dalam tas. Bahkan saking banyaknya sampai harus diangkut dengan gerobak!
Seperti yang kutip dari BBC, cerita-cerita unik lagi memprihatinkan pun muncul. "Seseorang lupa meninggalkan koper berisi uang. Saat kembali ke lokasi, ia menemukan uangnya utuh, hanya kopernya yang dicuri."
Harga naik dengan cepat. Seorang bocah yang disuruh orangtuanya membeli 2 roti tergoda untuk main bola. Selesai main, ia menuju toko. Ternyata, uang yang ia bawa hanya bisa membeli 1 roti saja. "Seorang ayah menuju Berlin untuk membeli sepasang sepatu. Ketika sampai di sana, dengan uang yang ia bawa, pria itu hanya bisa membeli secangkir kopi dan tiket bus pulang."
Tapi ada juga yang menangguk untung. Misalnya, seseorang yang meminjam uang untuk membeli kawanan ternak. Dan ia cukup menjual 1 sapi untuk melunasi semua utangnya. Para pegawai tetap juga relatif aman, mereka menegosiasikan gaji mereka setiap hari. Gaji diberikan sampai 3 kali sehari, para istri menunggu di luar kantor dan siap menerima dan lalu membelanjakan uang itu secepat mungkin.
"Malang menimpa para pensiunan dan mereka yang punya tabungan besar. Seorang perempuan menjual rumahnya. Ia berniat menggunakan uangnya untuk membiayai hidupnya. Beberapa minggu kemudian, semua uang yang ia miliki bahkan tak cukup untuk membeli sepotong roti," demikian dimuat BBC.
Orang-orang bahkan menggunakan uang sebagai bahan bakar, karena nilainya lebih rendah dari batubara dan kayu bakar. Dibakar di kompor atau alat penghangat ruangan. Sementara, para bocah bermain-main dengan tumpukan uang sungguhan. Bukan uang-uangan.
Kala itu, Eugeni Xammar, jurnalis harian La Veu de Catalunya -- yang bermarkas di Barcelona -- dikirim ke Berlin. Ia menjadi saksi mata kenaikan harga yang gila-gilaan itu.
"Harga tiket trem, daging, karcis bioskop, uang sekolah, koran, potong rambut, gula, bacon, naik setiap pekan," tulis Xammar pada Februari 1923.
"Orang-orang tak tahu sampai kapan uang mereka berharga, warga didera ketakutan, tak berpikir apapun kecuali makan, minum, beli, dan jual. Ini topik yang dibicarakan seluruh berlin: dolar, mark, dan harga...Kamu lihat? Ya ampun, hentikan ini! Aku baru saja membeli persediaan sosis, ham, dan keju!," demikian dikutip dari situs Der Spiegel.
Semua Berawal dari Perang...
Saat Perang Dunia I pada 31 Juli 1914, Bank Sentral Jerman kala itu, Reichsbank berhenti mengkonversikan uang kertas yang dikeluarkan ke cadangan emas. Setelah itu, tak ada batasan legal berapa uang yang bisa dicetak.
Untuk membiayai perang, pemerintah memilih meminjam uang dalam jumlah besar alih-alih membebankan pajak pada rakyat. Utang itu rencananya akan dibayarkan pihak musuh setelah Jerman memenangkan perang. Namun rencana tinggal rencana. Jerman di pihak yang kalah.
Pascaperang, kebutuhan untuk membayar utang dan merekonstruksi ekonomi setelah Perang Dunia I mengakibatkan pengeluaran pemerintah Jerman jauh melampaui pendapatannya.
Untuk membiayai pengeluarannya, pemerintah mencetak lebih banyak uang. Inflasi tak terelakkan di Republik Weimar -- republik parlementer yang didirikan tahun 1919 pasca tumbangnya monarki.
Utang kepada Prancis akibat kekalahan perang membuat keadaan Jerman semakin parah. Inflasi ekstrem tak terelakan.
Krisis ekonomi bisa teratasi setelah pemerintah Jerman menciptakan bank sentral yang independen dan meluncurkan mata uang baru, rentenmark.
Kekacauan yang dialami Jerman pascaperang ternyata punya efek samping lain: memberi celah bagi munculnya tokoh partai nasionalis sosialis (Nazi): Adolf Hitler yang kelak jadi diktator.
Selain krisis di Jerman, tanggal 6 November diwarnai sejumlah peristiwa penting. Pada tahun 1860, Abraham Lincoln dipilih sebagai Presiden ke-16 Amerika Serikat.
Pada 1963, Duong Van Minh secara resmi mengambil alih pemerintahan di Vietnam Selatan beberapa hari setelah pembunuhan terhadap Presiden Ngo Dinh Diem. (Ans)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar